Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar
Belakang
Filsafat ilmu adalah
merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai
hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi
ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Filsafat
ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti apa dan bagaimana
suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah. Bagaimana konsep
tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta
memanfaatkan alam melalui teknologi, cara menentukan validitas dari sebuah
informasi, formulasi dan penggunaan metode ilmiah, macam-macam penalaran yang
dapar digunakan untuk mendapat kesimpulan, serta implikasi metode dan model
ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
Seseorang disebut Filsuf,
ahli filsafat, atau tokoh filsafat bila telah mempelajari ilmu filsafat dan
mampu menerangkan suatu konsep dengan sangat detail dan dipahami sebagai suatu
pemikiran yang sangat dalam.
Tidak mudah memang memahami
filsafat, tapi ada beberapa filsuf yang berhasil menerangkan banyak konsep
dengan bahasa yang sederhana yang mudah dipahami oleh orang-orang awam
sekalipun. Diantara para filsuf itu adalah Profesor Damar Djati Supadjar, dari
universitas Gadjah mada. Beliau salah satu filsuf yang cukup terkenal terutama
di daerah Istimewa Yogyakarta.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1 Siapakah
Profesor Damar Djati Supandjar ?
1.2.2 Bagaimana
riwayat hidup Profesor Damar Djati Supadjar ?
1.2.3 Pemikiran
Profesor Damar Djati Supadjar tentang Filsafat ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan
Umum
Untuk mengetahui Biografi
tokoh Filsafat Indonesia, Profesor Damar Djati Supadjar
1.3.2 Tujuan
Khusus
1.3.2.1 Untuk
mengetahui siapakah Profesor Damar Djati
Supandjar.
1.3.2.2 Untuk
mengetahui bagaimana riwayat hidup
Profesor Damar Djati Supadjar.
1.3.2.3 Untuk
mengetahui Pemikiran Profesor Damar
Djati Supadjar tentang Filsafat.
Bab II
Pembahasan
2.1 Biogafi
Tokoh Filsafat Profesor Damar Djati Supadjar
Nama lengkap Prof. Damar
Djati Supadjar. Lahir di Kota Yogyakarta, Indonesia. Beliau aktif di Bidang Budaya dan Pendidik. Profesi beliau saat ini
adalah Kepala Pusat Studi Pancasila UGM, guru besar Fakultas Filsafat
Universitas Gajah Mada.
Prof. Damar Djati Supanjar
merupakan salah satu filsuf yang cukup terkenal di daerah Istimewa Yogyakarta,
penceramah di berbagai forum, budayawan, narasumber diskusi majelis taklim
keagamaan, guru besar UGM, penulis dan narasumber di radio maupun koran. Beliau
sering kali memberikan ilustrasi dengan menggunakan fungsi tubuh manusia,
konsep rumah, terutama rumah Jawa bahkan makanan pun bisa beliau kaitkan dengan
memahami konsep hidup diihat dari ilmu filsafat.
Damar Djati kecil lahir 30
maret 1940 di lereng gunung Merbabu memiliki kenangan khusus tentang desa-desa
di perbatasan Magelang-Semarang, tempat ia dididik oleh kedua orang tuanya.
Desa-desanya itu bernama serba “sari” yakni Lokasari, Banjarsari, Nawangsari.
Maka yang terakhir ini yang dipilihnya sebagai judul karya tulisnya yang
pertama, yakni Nawangsari, menerawang-sari, transparan esensi. Baginya alam ini
adalah lembar atau halaman “buku” yang dalam bahasa Jawa disebut kaca yang
harus dibaca dengan penuh rasa dan tidak emosional – kaca Mawa rasa.
Di desa Nawang Sari inilah
Damar Djati sering menyertai sang ayah untuk nyekar ke makam seseorang yang
dipercayai sebagai prajurit Diponegoro dari kesatuan Wirapati. Makam itu berada
di sebuah perbukitan kecil.. “Saya bisa melihat hal-hal yang jauh, menerawang
ke masa-masa yang silam di sela-sela kisah kepahlawanan yang telah lalu. Untuk
melangkah ke depan sesuai dengan apa yang dijangka oleh orang-orang tua,” tulis
Damar dalam bukunya NAWANGSARI.
Perawakannya cenderung
jangkung, tidak tegap, tidak gagah. Matanya cenderung sipit, sorotnya lembut.
Menandakan dia bukan sosok yang perlu ditakuti, dipuja dan mengagung-agungkan
KEAKUAN-nya. Bila berjalan cenderung merunduk dan tidak segan-segan mengangguk
bila kebetulan berpapasan dengan orang lain. Gaya bicaranya lucu, kocak, cerdas
suka berkelakar, insparatif dan jauh dari kesan angkuh.
Gaya Profesor Damar Djati
yang lucu, sederhana, dan pandai mengaitkan segala hal dengan apa yang ada di
lingkungan yang bisa dilihat mata, dirasakan kulit, dicium indera penciuman,
didengar telinga, dirasakan oleh lidah, membuat keterangan beliau mudah
dipahami dan membuat tertawa terpingkal-pingkal.
Seolah-olah beliau tidak
pernah kehabisan kata-kata dalam menjawab pertanyaan apa pun. Kepala yang
mengangguk-angguk tanda apa yang beliau terangkan benar adanya. Yang lebih lucu
lagi, anggukan kepala pun dibahas oleh beliau. Hal inilah yang semakin membuat
pendengar betah berlama-lama menyimak keterangan dari beliau,
Ia tumbuh pada masa-masa
perjuangan fisik, sehingga Damardjati pun berkali-kali pindah sekolah sebagai
pengungsi. Kelas 1 di tempat kelahirannya, kelas 2 di Madiun, kelas 3 di SD
(SR) budi Utama, Yogyakarta, kelas 4, 5 dan 6 kembali di losari. SLTP pertama
di SMP II Magelang, lalu pindah di SMP Kanisius (Pangudi Luhur) Ambarawa.
Sementara SLTA di SGA I Semarang, karena waktu itu SGA ber-ikatan Dinas,
sehingga meringankan beban keluarga. Setamat SGA mendapat izin mengikuti kuliah
di fakultas pedagogik UGM, yang belakangan menjadi Fakultas Psikologi UGM.
Diperoleh kesan mendalam pada usia 7 tahun, yakni ketika orang tuanya memberi
pegangan hidup, “manakala lapar dan tidak mendapatkan makanan, maka makanlah
doa”. Dimasa berikutnya, nasehat itu diformulasikan menjadi ajaran: madhang ora
Madhang tetep Padhang.
Ayah dari beberapa anak ini,
tinggal di Dusun Randujayan, Pakem, Sleman dekat lereng gunung Merapi, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Rumahnya mungil dan sangat-sangat biasa. Pemandangannya
indah dan hijau. Disebelah rumahnya, berdiri semacam rumah gebyok sederhana
berdinging bambu. Ini adalah tempat para mahasiswa berjualan Tahu Telupat,
Magelang.
Konon, Damar Djati sengaja
mendirikan usaha ini agar para mahasiswa bisa mecari uang untuk menghidupi
kuliahnya tanpa tergantung oleh orang tua. Untuk mobilitasnya sehari-hari,
setelah Pak Damar memiliki kecukupan rezeki, dia memakai mobil kesukaannya:
FIAT BALITA, “Bawah Lima Juta”. Beliau hoby mengoleksi mobil-mobil tua. Bila
ditanya apa hubungan filsafat dengan mobil, dengan tangkas beliau akan
menerangkan dengan memberikan ilustrasi dari mesin mobil, rangka mobil, setir,
tempat duduk, hingga bahan bakar mobil. “dasar Filsuf, apa pun bisa
diterangkan” begitu komentar penanya.
Dulu sebelum dia pindah ke
Randujayan, dia menempati sebuah rumah lawas di Jalan Kaliurang, sekitar dua
kilometer dari kampus. Ruang tamunya sederhana, ada satu-dua buku Jawa lawas
yang menumpuk tidak beraturan. Disebelah kursi tamu yang nampak kusam, sebuah
sepeda motor vespa biru yang renta dimakan usia. Dipekarangan depan rumah yang
sana-sini temboknya sudah mengelupas ini, tampak seonggok pasir dan anak Pak Damar
yang bermain-main menghabiskan waktu disini. Sebuah keluarga yang sangat
bersahaja dan biasa-biasa saja.
Ditemani oleh Sri Winarti
sebagai istrinya, yang dianugerahi 2 putra dan 2 putri, ternyata masih
dihadiahi oleh-Nya tambah 1 putra lagi yang kini baru berusia 2,5 tahun , pada
saat-saat ini Damar Djati bertekad untuk produktif sebagai penulis, demi Nun
wal qalami wanna yasturu, yang pernah aktif (saat ini pensiun) sebagai dosen di
UGM.
Profesor Damar Djati,
seperti juga pemikir lainnya, tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada
anak-anaknya. Beliau tidak memaksa anak-anaknya untuk mempelajari ilmu yang
sama dengannya.
Kesaksian ini didapat dari
salah satu putrinya yang menyelesaikan study jurusan Kependidikan Bahasa
Inggris IKIP Yogyakarta. Beliau sangat demokratis dan tetap lucu sama seperti
ketika beliau menerangkan konsep filsafat di depan murid-murid atau orang
kebanyakan yang rela menghabiskan waktu mendengarkan ‘ocehan’nya yang berbobot.
Pada tahun 1968 UGM membuka
Fakultas Filsafat, Damardjati memantapkan langkah untuk kuliah lagi, walaupun
tidak begitu lancar, sampai tamat sebagai Sarjana Filsasat pada tahun 1978,
dengan tesisnya yang berjudul Unsur-Unsur Kefilsafatan Sosial Serat Sastra Gendhing.
Karya Sutan agung ini sarat akan muatan filosofis. Problema pokonya ialah
perihal kesaksian diri manakah yang lebih dulu bersaksi. Penglihatan (sastra)
ataukah Pendengaran (Gendhing).
Seluruh perhatiannya
tercurah pada masalah ketuhanan. Maka Damar
Djati tidak pernah berhenti mendalami ayat-ayat sebagai struktur wujud
(awal-akhir/lahir-batin). Mak ketika Pemerintah Belanda menawarkan S3,
dipusatkannya perhatiannya atas konsep Ketuhanan menurut Filsafat Proses (1986
di Leiden). Atas bimbingan Prof.Dr.C.A.Van Peursen, maka dicapailah gelar
Doktor “Filsafat Ketuhanan” adalah modifikasi disertasi tersebut.
Guru Besar Fakultas Filsafat UGM ini juga sebagai
penulis aktif di SKH Kedaulatan Rakyat sebagai pengasuh rubrik “Mawas Diri” dan
“Wulan-Wuruk”, di samping aktif di berbagai yayasan, jabatan barunya sebagai
Ketua Umum yayasan Universitas Tidar, Magelang
Sebelum menjadi dosen, Damar
Djati adalah seorang sopir colt yang menarik penumpang dari Sleman ke kampus
pulang balik. Mungkin masa-masa yang cukup sulit ini dilaluinya sambil nyambi
kuliah di Fakultas Filsafat. Damar Djati adalah mahasiswa pertama di Fakultas
yang terletak di sisi paling timur Kampus Balaksumur tersebut. Entah bagaimana
awalnya, Damar Djati kemudian menjadi Dosen.
Di fakultas Filsafat, Damar
Djati adalah salah satu dosen Jurusan Filsafat Timur. Selain dosen, beliau juga
pernah menjadi ketua Jurusan, hingga berlanjut sampai mendapatkan gelar guru
besar. Spesialisasinya mengajar mata kuliah Filsafat Ketuhanan.
NAWANGSARI- menurut Damar
Djati, tujuan belajar Filsafat adalah untuk NAWANGSARI. Yang artinya menjaring
dan menyaring segala pandangan sampai kepada sari-sari esensi, yaitu hal-hal
yang hakiki, yang sedalam-dalamnya, selanjut-lanjutnya. Proses manusia untuk
menemukan esensi tersebut tentu terus berproses hingga akhir hayat. Penghayatan
itu hendaknya sampai kepada hal-hal yang mencakup dimensi spasial ( lahir-batin
) dan temporal ( awal- akhir ). Sebab badan memang di dunia, tapi Ruh berada di
tangan-Nya. Seperti sabda Nabi: Perkataanku itu syariat, perbuatanku itu
tarekat, hatiku itu hakekat. Kelanjutannya adalah Ruh-ku itu makrifat. Mengapa
Nabi Muhammad SAW itu besar ? karena Muhammad itu buka hanya nama diri, akan
tetapi juga kualitas pribadi, yakni yang terpuji karena selalu memuji Allah.
Sari-sari segala sesuatu itu ialah puja dan puji untuk Allah, Tuhan seru
sekalian alam. Enaknya makanan itu lahiriyah. Batiniah atau sarinya ialah La
haula wa la quwwata ila bil-Lah.
Ilmu Ketuhanan- Manusia,
menurut Damar, karena welttoffen ( keterbukaan umwelt-dunia ) selalu ingin
mengetahui atau mempelajari segala persoalan, menjawabnya satu persatu,
mengoreksi kesalahan-kesalahan, menanyakan kembali jawaban yang semula
seolah-olah sudah final tentang Tuhan, manusia dan lainnya. Sehingga lahirlah
theologia ( ilmu ketuhanan dalam rangka agama ), theodicea ( ilmu ketuhanan
dalam rangka Filsafat ), serta theosofi ( sebagai organisasi spiritual ).
“Nama theofani yaitu
pengejawantahan ilahi/tajall secara langsung ternyata berlaku secara khusus
bagi para nabi dan rasul-Nya. Semuanya secara singkronik mewartakan risalah
tauhid : La ilaha ilal-Lah” secara tidak langsung, kita juga menangkap
pewartaan ilahi itu pada tata tertib alam. Hukum-hukum alam, sebagai ayat
ayat-Nya yang objektif menjadi percikan dari rahasia takdir-Nya dan ilmu pasti
di sisi-Nya.
Oleh sebab itu, untuk
mengenal Tuhan paling pas adalah menggunakan pendekatan relijius islami,
Qurani, juga filsafati sehingga terkandung kemungkinan untuk tidak berhenti
pada tingkat verbalis/ kognitif, melainkan berlanjut kepada tingkatan
psikomotor sebagai sebuah konspirasi total. La ilaha ilal-Lah kalimat
pernyataan LA ILAHA ILAL-LAH adalah tesis akbar, terbesar sepanjang masa,
menyeru sekalian alam, rumus abadi, proklamasi kemerdekaan.
Menurut Damar Djati, kalimat
ini bobot kualitatifnya melebihi seluruh petala langit dan bumi. Rumusan La
ilaha ilal-lah ini dapat dibedakan menjadi dua. Sebagian menghasilkan/
menindakkan ( nafi LA ILAHA ) dan sebagian lagi mengafirmasikan/ mengiyakan (
isbat: ILA-LAH ). Arti populernya: TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH. Tidak ada
segala yang ada ini yang pantas disembah selain Allah.
Secara singkat, kita hanya
akan membatasi diri pada tiga sistem, yaitu SISTEM KEBERADAAN ( BEING/ORDO
ESSENDI ), SISTEM NILAI/ KUALITAS ( HAVING/ ORDO COGNOSCENDY ), dan SITEM KERJA
( BEHAVING/ ORDO FIENDI ), yang kesemuanya itu dicakup oleh NIAT KETAKWAAN (
ORDO AGENDI ). Artinya, sesungguhnya YANG BEKERJA, YANG HIDUP, YANG ADA itu
semata-mata karena ALLAHU AKBAR. Allah bersumpah untuk itu dalam kitab suci
bahwa: KEBERADAAN, NILAI, KEHIDUPAN DI LUAR itu adalah MAIN-MAIN/PERMAINAN yang
akan tampak sebagai fatamorgana. “Harus bisa membedakan dengan jelas antara
kesungguhan Allah dengan ciptaan-Nya, dengan kehidupan manusia yang bermain-main,”
ujar Damar.
Menurut Damar Djati,
pendekatan matematis merupakan latihan yang baik untuk mengoreksi kesalahan
tersebut, dengan menjawab pertanyaan misalnya: “Titik itu ada apa tidak ?”
“Titik sesungguhnya tidak ada, kecuali dalam rangka garis. Artinya adanya titik
itu bergantung pada adanya garis. Pada garis dapat ditampung titik yang
jumlahnya tak terhingga, dan seterusnya” hubungan antara titik dan garis,
paralel dengan hubungan antara garis terhadap bidang, bidang terhadap ruang,
jadi hubungan antar dimensional. Kita akan mendapat petunjuk bahwa SEMESTA TIGA
DIMENSI ini adanya bergantung pada REALITAS BERDIMENSI EMPAT, demikian
seterusnya..
Hubungan antara dunia dan
akhirat, hubungan antara lahir dan batin, semestinya dipandang sebagai hubungan
partialitas terhadap totalitasnya secara antar dimensional/transendental.
Sebaliknya, yang superlatif mematerikan pesan imperatif kepada realitas di
bawahnya, sebagai sesuatu yang imanen.
Nah, bagaimana kedudukan
manusia ? “Sungguh luar biasa, kata pak Damar, karena MAN IS THE MEETING POINT
OF VARIOUS STAGES OF REALITY. Manusia adalah titik temu dari beragam tingkat
realitas. Ya, realitas itu bertingkat, abstraksi juga bertingkat,”
Kalimat LA ILAHA ILAL-LAH
adalah KESIMPULAN DARI KESIMPULAN. Suatu hal yang memungkinkan kita membuat
tali simpul baik yang berkekuatan tidak terhingg, sebagai THE DYNAMIC OR INNER
STABILITY.
Maka terbuka kesempatan yang
seluas-luasnya untuk mencapai hal itu, baik secara desentratif ataupun
konsentratif, sambil menjaga kesadaran bergelombang alpha rythmic, meningkatkan
diri berturut-turut melalui pernyataan “LA HAULA WALA QUWWATA ILA BIL-LAH, INNA
ILA LIL-ILAHI WA INNA ILAIHI RAJI’UN, LA ILAHA ILAL-LAH”
Walaupun kini usianya sudah
tidak muda lagi, yakni 71 tahun. Namun, budayawan Profesor Damar Djati Supadjar
tetap giat dan aktif dalam berkarya. Baru baru ini beliau meluncurkan buku “ Sumurupa
Byar-e: Menyingkap Rahasia Awal-Akhir, Lahir-Batin”. Buku ini merupakan
kumpulan tulisannya dalam berbagai kegiatan seminar, diskusi, dan ceramah.
Buku itu memuat berbagai
pemikiran pensiunan dosen fakultas Filasafat Universitas Gadjah mada itu
tentang masalah ketuhanan dan keagamaan; Filosofi dan ideologi pancasila serta
masalah-masalah aktual lain seperti pendidikan dan kebudayaan.
Bagian dari hasil
pemikirannya tentang kehidupan hingga melihat komdisi saat ini. Beliau
menuangkan gagasan ide revolusi spiritual, revolusi tanpa huru-hara dan
berdarah-darah.
Dalam bahasanya, revolusi
spiritual akan berhasil jika dilakukan oleh kaum muda yang diibaratkan sebagai
“ontoseno” dan “Wisanggeni” seperti di kisah pewayangan.
Profesor Damar Djati juga
menjelaskan tentang pandangan hidup orang Jawa tentang kehidupan. Setiap
manusia harus melalui proses “mijil” (lahir), kemudian mengalami “asmorodono” (
jatuh cinta ) dengan pasangannya, “sinom perdopo” dan “ maskumbang asmoro”.
Lalu meningkat lagi “kedhandhanggulo”. Melalui proses ini kita bisa membedakan
mana gula dan mana manisnya. Lewat durma, pangkur, gambuh, sebelum dipocong
atau megat-ruh yakni meninggal dunia.
Beliau menambahkan, semasa
hidupnya setiap orang harus bermanfaat dan mengisi hidupnya dengan berbagai hal
yang baik.
Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Filsafat ketuhanan adalah
pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan akal budi, maka dipakai pendekatan
yang disebut filosofis. Bagi orang yang menganut agama tertentu, akan
menambahnkan pendekatan religius di dalam usaha pemikirannya. Jadi filsafat
Ketuhanan adalah pemikiran para manusia dengan pendekatan akal budi tentang Tuhan.
Usaha yang dilakukan manusia ini bukanlah untuk menemukan Tuhan secara absolut
atau mutlak, nemun mencari pertimbangan kemungkinan-kemungkinan bagi manusia
untuk sampai pada kebenaran tentang Tuhan.
3.2 Saran
Agar
kita lebih memahami Filsafat Ketuhanan hendaknya kita menerapkan pendekatan
Religius. Yaitu dengan selalu mendekatkan diri pada Tuhan agar kita dapat lebih
memahami kehidupan sehingga kita tidak tersesat dan selalu dalam lindungannya.
Daftar
Pustaka
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Filsafat
_ilmu
http://wong
alus.wordpress.com/2009/05/17/gerimis-kenangan-dari-pencari-yang-terlupakan/
Tjahyadi. S.P
Lili., Tuhan para filsuf dan ilmuwan, Yogyakarta: Kanisius 2007
0 komentar:
Posting Komentar